Minggu, 26 September 2010

Bisikan Halusinasi Itu...

“ Pokoknya aku mau ke rumah nenek!!” kataku berteriak

Hari ini merupakan lebaran hari kedua, kemarin kami sekeluarga memang sudah ke rumah nenek meski hanya sehari. Entah kenapa, dari aku mulai dilahirkan sampai umurku 18 ini, jadwal pertama lebaran selalu kerumah nenek, kita semua menghabiskan waktu seharian dirumah nenek. Baru pada lebaran hari ke 2, kita silaturahmi ke tempat lain.

Ayahku heran, kenapa aku bisa sedemikian keras minta ijin ke rumah nenek. Ayahku tahu, aku lebih suka menghabiskan waktu untuk tidur dan menonton tv daripada ke desa. Dan aku sendiri juga bersikeras dalam hatiku bahwa aku harus pergi ke rumah nenek secepatnya.

Baiklah, sepertinya kalian memang penasaran. Kuceritakan saja alasanku kenapa aku harus menentang ayahku si-pria-paling-berharga.semenjak lebaran hari pertama aku sering mengalami kegelisahan total. Aku takut, cemas, kasihan dan bingung menjadi satu dalam perasaanku tanpa mampu aku jelaskan apa yang sedang terjadi. Anehnya kegelisahan itu hanya kualami jika aku sedang berada di rumah. Namun, sayangnya aku sendiri tidak terbiasa mengungkapkan sesuatu. Akhirnya semuanya aku rasakan sendiri, meski kadang ingin berontak.

Kegelisahanku sendiri berawal dari berita duka yang dibawa oleh tetanggaku, saat kami sekeluarga sedang dirumah nenek, kami medapat kabar dari tetangga bahwa bu Ani mengalami kecelakaan yang parah dan kepalanya langsung gegar otak. Setelah mendengar kabar itu, aku menjadi ketakutan. aku menjadi berhalusinasi, memang aku sering mengalami halusianasi tapi tidak sekuat ini.

Setiap kali aku ayah, ibu atau sodara lainnya membicarakan tentang ibu ani, perkembangan kesehatanya atau tentang kebaikan-kebaikan yang bua ani lakukan pada keluarga kami, aku menjadi semakin gelisah. Ketakutan itu kembali mucul. Setiap kali aku mendengar nama bu ani atau aku memikirkan beliau aku selalu merasa dalam hatiku ada bisikan halus “mati”.

“yah, kasian ya bu ani...dia kan orang baik” kata ibuku kepada ayah.

“mati” kata bisikan halus itu

“de, kamu kan yang paling sering mengantar kue untuk bu ani,pasti kamu sedih banget ya sekarang”kata ibu kepadaku

“mati”kata bisikan halus itu lagi

“yah, kira-kira gegar otak bisa sembuh gak” kata adikku yang SMP pada ayah

“mati” kata bisikan halus itu lagi dan lagi

Aku semakin takut,dari hari ke hari bisikan itu semakin kuat. Pada awalnya memang bisikan itu muncul saat beberapa kali tapi kemudia intensitasnya jadi makin sering. Makin banyak kata “mati” yang aku dengar. Makin banyak kata “takut” yang mucul dari hatiku.

“kalo mau mati, mati aja gak usah bilang-bilang” teriakku dalam ketakutan

“mati” sekali lagi ada yang berbisik lirih

Aku benar-benar takut, aku ingin mencurahkan perasaanku dengan satu orang saja apa yang aku rasakan. Namu, sepertinya apa yang aku rasakan harus aku tanggung sendirian. Setiap kali aku menemukan orang yang tepat untuk kuajak bicara tentang ketakutanku, lidahku mejadi kelu. Aku takut dianggap gila, aku takut dianggap aneh dan aku takut dianggap mencari perhatian. Aku merasa ini bukan sekedar halusinasi belaka. Ini benar-benar nyata.

Saat aku merasa di rumah, aku tidak lagi merasa hawa seperti biasanya. Aku hanya merasakan kegelisahan didalamnya. Aku benar-benar takut dan sendirian. Karena itu semua kuputuskan untuk pergi ke rumah nenek. Aku tahu aku tidak bisa sepenuhnya lari dari kata “mati” itu tapi setidaknya disana aku bisa sedikit lebih tenang.

Setelah melakukan perdebatan cukup panjang dan berbagai alasan realistis, ayahku akhirnya mengizinkan aku untuk menginap dirumah nenek. Aku merasa senang sekali, halusinasi itu memang masih terasa, tapi toh tak sesering dirumah karena dirumah nenek tidak ada yang mengenal bu ani.

Aku menjalani hari-hariku seperti biasa, dengan kegelisahan yang mulai sedikit demi bisa diatasi. Aku dapat lagi merasakan bahwa di dunia ini hawa “mati” bukan satu-satunya hawa yang ada. Aku dapat lagi merasakan bahwa aku bisa mengatasi ketakutanku. Sampai pada suatu sore saat aku sedang berkumpul dengan nenek aku mendapat sms singkat dari tetanggaku

“dek, gak pulang?bu ani meninggal.”

Kata Kami Kepada Pemerintah

Aku menikmati setiap detik dari kehidupanku, setiap sisi, setiap liku. Segalanya begitu berharga. Tidak ada kata yang bisa menceritakan. Penceritaan hanya akan membatasi pemahaman.



Disinilah, di halaman gedung DPRD kota aku biasa bermain. Aku belajar menghitung satu tambah satu, orang di DPRD menghitung satu milyar tambah satu milyar. Aku belajar menggambar kapal, orang di DPRD sibuk mengajukan proposal. aku bercerita rasanya ditangkap saptol PP, orang di DPRD bercerita rasanya membeli HP. Terkadang, aku merasa begitu jauh perbedaan kita. Meski kita sama-sama berada di gedung DPRD. Orang DPRD dan kita sama-sama datang untuk bekerja. Namun, orang DPRD datang untuk bekerja membuat undang-undang dan kami bekerja untuk mengharap belas kasihan.



Aku dilahirkan sama dengan anak-anak lain, melewati rahim ibu dan disambut dengan suka cita. Namun, aku melewati masa tumbuhku berbeda dengan anak-anak lain. Aku mengenal uang disaat aku belum tahu apa itu uang. Aku hanya disuruh menodongkan kaleng bekas kepada setiap orang di lampu merah. Dari situ aku mengenal uang, sesuatu yang menyebabkan aku berbeda dengan anak-anak lain. Mereka punya uang, aku tidak. Mereka tidak mencari uang, aku iya.



Tahukah orang-orang, jika aku sendiri tidak mengharapkan ditakdirkan untuk miskin apalagi mngemis seperti ini? Tahukan orang-orang aku juga mempunyai keinginan untuk diperhatikan? Tahukah orang-orang aku juga mempunyai keinginan untuk menjadi seseorang yang berguna untuk bangsa ini??



Lupakan tentang cita-cita, aku tidak mempunyai itu. Bagaimana aku bisa merencanakan apa yang bisa aku raih untuk 10 atau 20 tahun mendatang jika untuk makan besok saja aku kesulitan untuk mendapatkannya. Realitas lingkungan memaksaku untuk berhenti bercita-cita. ada mantan tukang yang jadi bos, Ada mantan sopir yang jadi menteri, ada penggembala sapi yang jadi presiden.namun, tidak ada mantan pengemis yang jadi bos, menteri apalagi presiden.



Setiap hari ada banyak hal yang bisa kukeluhkan kepada Tuhan, tapi percuma saja, aku merasa Tuhan hanya megabulkan doa orang-orang kaya yang kulihat bisa membeli apapun yang diinginkannya. Terkadang aku merasa lebih menuhankan pemberi sedekah daripada tuhan itu sendiri, mereka lebih nyata, saat ku mengadahkan tangan dan meminta uang mereka akan segera mengeluarkan recehannya tapi begitu aku minta Tuhan, harus menunggu dulu.



Menurut UUD '45 negara yang kutinggali ini "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara di negara", sayangnya para pembuat hukum di negeri ini lupa apa yang mereka janjikan itu tidak mereka lakukan. Mereka lebih suka memperbaiki sistem pendidikan di negeri ini, tapi tidak memperbanyak pekerjaan yang ada. Seharusnya para sarjana itu ikut aku saja mengemis daripada menghabiskan waktu dan uang bertahun-tahun hanya untuk menjadi pengangguran.



Ah......... semakin memuakkan saja saat aku mulai berpikir tentang kehidupanku. Aku miskin, aku hina, aku tak berguna dan aku ingin meminta pertanggungjawaban kepada negeri ini, kepada pemerintah negeri ini yang telah membuat segala keapikan bahasa dalam undang-undang tapi tak bisa membuatnya menjadi nyata. Menjadi segeiltir manusia dari segelintir kepentingan yang menurut mreka tidak lebih penting dari jabatan membuatku harus berpikir sendiri. Mereka tidak bisa diandalkan untuk merubah nasibku.



Para petinggi negeri ini ingin sekali memusnahkan kami sebagai sampah masyarakat, dan kami pun ingin memusnahkan mereka sebagai kebusukan masyarakat. Sesungguhnya kami dan mereka saling bersaing dalam sebuah kanyataan yang tidak pernah diungkapkan.

Hidup itu Perlu Rencana

Seorang teman berkata padaku “sesuatu yang tidak direncanakan biasanya akan lebih terlaksana, makanya aku tidak merencanakan sesuatu untuk memulai sebuah acara”. Kalimat ini bukan kali pertama aku dengar, tapi entah mengapa kali ini aku merasa agak terusik dengan prinsip seperti ini.

Tidak tahu kenapa sampai detik ini orang-orang yang berprinsip seperti itu orang yang tidak/belum sukses. Belum ada orang sukses yang saya temui dalam hidup ini menjalani hidup tanpa perencanaan. Mungkin memang suatu hari nanti orang tanpa perencanaan akan sukses. Namun, tetap saja tidak akan sesukses orang penuh perencanaan.

Mungkin benar, ada BANYAK acara tanpa rencana yang berhasil . Namun, ada LEBIH BANYAK acara dengan rencana yang berhasil.

Manusia punya rencana, Tuhan menentukan. Jika manusia sendiri tidak punya rencana,bagaimana tuhan mau menentukan.

Jika ada suatu rencana, nonton misalnya, dapat berjalan sukses padahal direncanakan 1jam sebelum film dimulai. Hal itu dapat terjadi karena pihak yang diajak tidak diberi kesempatan untuk menolak. Lalu kenapa hal itu bisa terjadi terus menerus?? Tentu saja karena pihak yang diajak memang tipe orang sama, orang tanpa perencanaan. Lain halnya jika kita mengajak orang yang penuh perencanaan, 1 atau 2 kali mungkin bisa berjalan. Untuk ke 3 kalinya, jangan harap.

Seperti halnya hidup, manusia mempunyai kecenderungan lebih dekat dengan orang yang mempunyai cara pandang sama. Itulah mengapa jenis orang tanpa perencanaan merasa nyaman dengan orang tanpa perencanaan dan orang penuh perencanaan juga merasa nyaman dengan orang penuh perencanaan.

Yuk ,merencanakan sesuatu dari sekarang. Pindahan dari zona “tanpa perencaan” ke zona “penuh rencana”. Tidak ada salahnya merencanakan sesuatu yang memberikan manfaat buat diri kita, tapi jika kita hanya mau menunggu kesempatan. Mau sampai kapan??

Jumat, 24 September 2010

Dede dan Dodo

Persahabatan itu tidak mengenal usia, jarak, jenis kelamin atau latar belakang. Untuk kasusku ini aku merasa ada yang perlu ditambahi, bahwa persahabatan itu juga tidak mengenal spesies dan makluk apakah kita. Yang terpenting dari itu semua adalah perasaan saling memahami dan saling melengkapi satu sama lain .

Persahabatan yang ingin kubagi sekarang adalah persahabatanku dengan Dodo, si motor tampanku. Tidak ada yang unik dari si dodo, dia hanyalah motor biasa dengan warna hitam tanpa tulisan merk berplat K 2069 DN. Paling enak jika pergi keluar dan motor tidak tahu diparkir dimana, maka akan terjadi percakapan seperti ini

“motornya apa,mbak” tanya mas parkir

“hitam polos,mas” jawabku santai

“hah?” kata mas parkir bingung

Untungnya sebelum para tukang parkir itu bertanya lebih lanjut, aku berhasil menemukan dodo. Mungkin mereka pikir motorku itu semacam permadani yang bisa bewarna hitam polos, polkadot atau berenda.

Aku menamainya Dodo setelaah melalui proses yang panjang dan rumit. Namaku Dede, jadi aku ingin mencarikan nama yang mirip-mirip dengan namaku. Mula-mula aku menamainya Meme, lalu keke, tapi sepertinya motor ku tidak setuju, dia melakukan aksi ngambek dengan mogok seenaknya waktu sedang kukendarai, lalu aku memberinya nama Lele. Aku suka sekali nama lele, ini mengingatkanku pada hewan lucu yang lezat. Namun, motorku itu makin ngambek menjadi-jadi. Tidak hanya mogok dijalan, sekarang dia jadi suka mengeluarkan ledakan terkadang disertai percikan api dari balik knalpotnya. Kalo sudah begitu aku paling Cuma mengelus-eLus kepalanya sambil berkata.

“kentutnya jangan terus-terusan ya ...nanti kita cari nama baru lagi”

Akhirnya aku mulai putus asa, nama Lele kuberikan saja pada laptopku, karena dalam bahasa indonesia mempunyai pengucapan “leptop”, jadi kurasa cocok jika nama panggilannya lele. Lele nama laptop dan Dede nama pemilik laptop. Lele baruku ini juga tidak pernah melakukan aksi ngambek seperti motorku ini. Dia memang laptop yang penuh keiklasan. Aku bahagia ditakdirkan hidup bersamanya.

Setelah nama Lele beralih ke laptop, aku kembali disibukkan dengan tanggung jawab memberi nama motor. Akhirnya ada suatu waktu Tuhan memberi ku sebuah inspirasi untuk menaminya “DODO”. Sebelum aku melakukan penggantian nama, kuajak dia ke bengkel. Ternyata mas bengkel bilang bahwa Dodo mengalami penyumbatan di saluran pembuangan, karena sering diisi bensin di pinggir jalan yang kemurniannya tidak terjamin. Akhirnya knalpotnya perlu untuk dibersihkan.Namun, itu tidak berlangsung lama, karena mas bengkel berhasil menyehatkan Dodo tanpa resiko kematian.

Terkadang aku menyesali hidup ini, kenapa tidak ada orang yang bisa berkomunikasi dengan Dodo seperti aku. Padahal Dodo itu teman curhat yang paling baik di dunia. Dia memahami kehidupanku sebagai manusia. Dia rela kuajak panas-panasan setiap hari tanpa mengeluh sedikitpun. Banyak sekali hal yang membuatku begitu mencintai Dodo, sebelum berangkat jalan-jalan selalu ku elus Dodo dengan kasih sayang


“dodo, jalan yuk... temenin aku ya, kita akan jadi petualang hari ini. jangan ngambek lagi”kataku lirih, aku berbohong kali ini. Dodo selalu utinggal lama di parkiran.

Seperti biasanya Dodo jarang menjawab apa yang kukatakan, dia memang sedikit mempunyai masalah komunikasi dalam menyampaikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya, makanya dia lebih banyak diam. Jika dia mengalami suatu masalah yang membuat jiwanya tergonjang baru dia curhat, itupun harus di tempat yang tidak ada orang. Dodo malu menjadi terkenal jika orang-orang tahu kemampuannya dalam berbicara bahasa manusia.

Entahlah, mungkin sampai akhir hayatnya Dodo tidak ingin untuk bergaul dengan manusia lain selain aku, tapi dia ingin paling tidak manusia-manusia menghargai keberadaanya. Dia senang sekali setiap selesai kuajak jalan-jalan ada seorang temanku yang mengajaknya ngobrol atau sekedar menyapanya. Dodo memang teman terbaik, seorang teman yang bertangggungjawab dan dapat dipercaya, seperti isi dasa dharma Pramuka ke 9. Itulah yang membuatku untuk terus menyayanginya.

Rabu, 22 September 2010

Bayang-bayang di kamarku

Kamarku adalah sebuah tempat dimana semua keajaiban berasal. Kamarku selalu penuh keajaiban-keajaiban yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Namun sayang, hanya aku yang bisa melihat semua keajaiban di kamarku ini. tentu saja karena semua keajaiban yang ada dalam kamarku tercipta untukku.

Pertama kali aku melihatnya dalam hidup ini saat dia masih sebentuk bayang-bayang dalam kamarku. Dia selalu hadir disaat aku akan beranjak tidur. Melayang-layang diatas diriku, lalu perlahan turun memelukku disaat tidur. Selalu ada di sampingku saat aku terbangun di malam sunyi dan menghilang saat pagi mulai datang.

Sejak saat itu, aku selalu merasa kedamaian selalu datang disaat aku tidur. Aku selalu takut malam hari tapi tidak saat bayang-bayang itu mucul. Rasa nyaman di peluknya membuat aku selalu ingin malam. Aku hanya menginginkan malam karena hanya saat malam bayang-bayang itu mucul. Aku juga membenci pagi, karena disaat pagi bayang-bayang itu pasti sudah menghilang. Aku juga tidak pernah melihat secara langsung saat bayang-bayang itu pergi, dan lewat mana dia pergi. Yang aku pedulikan hanyalah aku merasa nyaman dengan dia, dan aku tidak merasa perlu tahu tentang dia.

Bayang-bayang itu muncul jelas dalam hidupku sejak aku berumur 9tahun, saat aku belum mengenal pubertas pertama. Dan bukan kedewasaanlah yang menentukan pengetahuan, karena pada faktanya orang tuaku yang jauh lebih dewasa tidak pernah mengenal bayang-bayang.

Dari perkenalan pertama dengannya, dan kenyamanan bersamanya aku merasakan suatu perasaan ketergantungan. Aku hanya bisa tidur setelah bayang-bayang itu muncul. Seberapa sibuknya dia berada dalam dunia bayang-bayang dia harus tetap ada menemaniku dalam malam.

Si bayang-bayang menjadi satu-satunya temanku, dan semua yang terjadi antara aku dan dia hanya menjadi rahasia kita berdua. Pernah aku berkata kepada ayahku tentang bayang-bayang itu disaat umurku 10tahun.

“ayah,kenapa setiap malam aku melihat bayang-bayang di dalam kamarku? Apa ayah mengenalnya?” tanyaku di suatu waktu.

“hm.......” ayah sepertinya benar-benar bingung dan tidak mempunyai jawaban

“ jika belum, ayah harus berkenalan dengannya, dia hebat... bisa melayang-layang di udara. Sayangnya dia hanya datang saat malam hari” kataku bersemangat sekali

“sepertinya kita harus ke psikiater” kata ayah dengan wajah cemas

Setelah kejadian itu aku tidak pernah menanyakan kepada ayah tentang bayang-bayang itu. Aku tidak tahu apa itu psikiater, tapi melihat wajah cemas ayah aku merasa psikiater adalah seorang makluk yang dapat mengatasi semua masalah, semacam polisi mungkin.

Semenjak itu pulalah aku juga tidak ingin membicarakan dengan orang lain tentang bayang-bayang itu, aku bersyukur jika tidak ada yang mempercayai bahwa bayang-bayang itu nyata. Bagiku dia hanya hidup untukku dan orang lain tidak perlu tahu. Karena itu urusanku.