Minggu, 26 September 2010

Kata Kami Kepada Pemerintah

Aku menikmati setiap detik dari kehidupanku, setiap sisi, setiap liku. Segalanya begitu berharga. Tidak ada kata yang bisa menceritakan. Penceritaan hanya akan membatasi pemahaman.



Disinilah, di halaman gedung DPRD kota aku biasa bermain. Aku belajar menghitung satu tambah satu, orang di DPRD menghitung satu milyar tambah satu milyar. Aku belajar menggambar kapal, orang di DPRD sibuk mengajukan proposal. aku bercerita rasanya ditangkap saptol PP, orang di DPRD bercerita rasanya membeli HP. Terkadang, aku merasa begitu jauh perbedaan kita. Meski kita sama-sama berada di gedung DPRD. Orang DPRD dan kita sama-sama datang untuk bekerja. Namun, orang DPRD datang untuk bekerja membuat undang-undang dan kami bekerja untuk mengharap belas kasihan.



Aku dilahirkan sama dengan anak-anak lain, melewati rahim ibu dan disambut dengan suka cita. Namun, aku melewati masa tumbuhku berbeda dengan anak-anak lain. Aku mengenal uang disaat aku belum tahu apa itu uang. Aku hanya disuruh menodongkan kaleng bekas kepada setiap orang di lampu merah. Dari situ aku mengenal uang, sesuatu yang menyebabkan aku berbeda dengan anak-anak lain. Mereka punya uang, aku tidak. Mereka tidak mencari uang, aku iya.



Tahukah orang-orang, jika aku sendiri tidak mengharapkan ditakdirkan untuk miskin apalagi mngemis seperti ini? Tahukan orang-orang aku juga mempunyai keinginan untuk diperhatikan? Tahukah orang-orang aku juga mempunyai keinginan untuk menjadi seseorang yang berguna untuk bangsa ini??



Lupakan tentang cita-cita, aku tidak mempunyai itu. Bagaimana aku bisa merencanakan apa yang bisa aku raih untuk 10 atau 20 tahun mendatang jika untuk makan besok saja aku kesulitan untuk mendapatkannya. Realitas lingkungan memaksaku untuk berhenti bercita-cita. ada mantan tukang yang jadi bos, Ada mantan sopir yang jadi menteri, ada penggembala sapi yang jadi presiden.namun, tidak ada mantan pengemis yang jadi bos, menteri apalagi presiden.



Setiap hari ada banyak hal yang bisa kukeluhkan kepada Tuhan, tapi percuma saja, aku merasa Tuhan hanya megabulkan doa orang-orang kaya yang kulihat bisa membeli apapun yang diinginkannya. Terkadang aku merasa lebih menuhankan pemberi sedekah daripada tuhan itu sendiri, mereka lebih nyata, saat ku mengadahkan tangan dan meminta uang mereka akan segera mengeluarkan recehannya tapi begitu aku minta Tuhan, harus menunggu dulu.



Menurut UUD '45 negara yang kutinggali ini "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara di negara", sayangnya para pembuat hukum di negeri ini lupa apa yang mereka janjikan itu tidak mereka lakukan. Mereka lebih suka memperbaiki sistem pendidikan di negeri ini, tapi tidak memperbanyak pekerjaan yang ada. Seharusnya para sarjana itu ikut aku saja mengemis daripada menghabiskan waktu dan uang bertahun-tahun hanya untuk menjadi pengangguran.



Ah......... semakin memuakkan saja saat aku mulai berpikir tentang kehidupanku. Aku miskin, aku hina, aku tak berguna dan aku ingin meminta pertanggungjawaban kepada negeri ini, kepada pemerintah negeri ini yang telah membuat segala keapikan bahasa dalam undang-undang tapi tak bisa membuatnya menjadi nyata. Menjadi segeiltir manusia dari segelintir kepentingan yang menurut mreka tidak lebih penting dari jabatan membuatku harus berpikir sendiri. Mereka tidak bisa diandalkan untuk merubah nasibku.



Para petinggi negeri ini ingin sekali memusnahkan kami sebagai sampah masyarakat, dan kami pun ingin memusnahkan mereka sebagai kebusukan masyarakat. Sesungguhnya kami dan mereka saling bersaing dalam sebuah kanyataan yang tidak pernah diungkapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar